*Jeanette Anandajoo, Fashion Advisor Galeries Lafayette Jakarta

Puguh Sujiatmiko/Jawa Pos
**Paling Susah Pilihkan Lingerie
Istilah pakaian mampu mendongkrak kepercayaan diri seseorang memang benar adanya. Namun, tidak semua orang bisa memilih pakaian yang tepat. Bukannya percaya diri, malah minder yang muncul. Padahal, di kota metropolitan seperti Jakarta ini, kepercayaan diri menjadi modal utama untuk survive. Untuk itulah Jeanette Anandajoo hadir.
Sebagai fashion advisor, dia bertugas untuk membantu seseorang menemukan pakaian yang paling pas dan membuatnya tampil percaya diri. Memberikan advice terkait urusan fashion memang menjadi tugas Jeanette. Fashion memang sudah mengalir dalam darah Jeanette sejak dulu. Profesinya sekarang ini, memungkinkannya untuk mengerjakan hal yang dia sukai sekaligus menerapkan ilmu yang didapatnya selama kuliah di jurusan fashion design.
Ketertarikannya pada bidang fashion sudah ditunjukan Jeanette sejak masih kecil. Sang nenek dan bunda merupakan penjahit andal. Tidak jarang keduanya membuatkan Jeanette kecil baju-baju cantik. Berbeda dengan anak kecil lainnya yang menerima begitu saja baju yang diberikan, Jeanette justru merekues sendiri baju yang sesuai dengan keinginannya.
Dia mengaku baju-baju cantik selalu ada dalam benaknya. Sehingga, saat sang nenek berencana membuatkannya baju, Jeanette langsung meminta ini itu. ”Aku ingin yang seperti ini. Bentuk bajunya harus seperti itu. Ada tambahan ini dan itu. Pokoknya banyak maunya. Bajuku harus selalu cantik,” kata perempuan kelahian Medan, 19 Oktober 1987 itu.
Tidak berhenti sampai di situ. Jeanette juga kerap berulah saat hendak bepergian. Saat hendak pergi, dia harus mengenakan pakaian yang dia inginkan. Sudah sejak kecil, Jeanette sulit diatur mengenai pakaian. Semuanya harus sesuai dengan keinginannya. Termasuk saat hanya akan pergi ke pasar. Tampil cantik dan stylish sudah jadi hal wajib baginya.
Saat itu, sang bunda mengajak Jeanette kecil berbelanja ke Pasar Baru. Udara yang panas membuat ibunya memilihkan baju simple yang tidak akan membuat Jeanette kepanansan dan tidak nyaman. Alih-alih menurut pada sang bunda, Jeanette malah merengek. Dia merengek minta baju yang dikenakannya diganti gaun panjang ala pengantin. Tidak mau ambil pusing dan membuang banyak waktu, ibunya akhirnya mengabulkan permintaannya. Jadilah Jeanette berangkat ke pasar dengan baju pengantin tengah hari bolong.
Saat itu, Jeanette hanya mengikuti keinginan untuk mencapai kepuasannya dalam berpenampilan. Tanpa tahu fashion adalah sebuah komoditas yang menjanjikan. Memasuki SMA, dia mulai tertarik lagi pada dunia fashion. Mengambil jurusan fashion design sempat terlintas dalam benaknya. Keinginannya itu dia ungkapkan pada orang tuanya. Bukannya dukungan, dia malah mendapat penolakan.
Penolakan tersebut membuatnya berpikir banyak hal. Termasuk masa depannya jika mengambil jurusan fashion design di bangku kuliah. ”Bukannya merendahkan. Tapi kebanyakan lulusan fashion design itu malah jadi tukang jahit di butik sendiri. Aku ingin menjadi sesuatu yang lebih dari itu,” ucap dia.
Pemikirannya itu memupuskan niatnya mengambil jurusan fashion design. Dia kemudian mengambil jurusan desain komunikasi visual di sebuah perguruan tinggi di Sydney, Australia. Dunia kreatif memang tidak bisa dipisahkan dari Jeanette. Dia mengaku sebagai orang sangat suka dengan hal-hal kreatif. Bahkan, bagi Jeanette, membungkus kado adalah hal yang sangat menyenangkan.
Tiga tahun menghabiskan waktu di Sydney, dia mengaku masih belum bisa nyambung dengan visi dari jurusan kuliahnya itu. Saat ada tugas menganalisis majalah, bukannya fokus pada tugasnya, Jeanette malah sibuk melihat-lihat halaman fashion. Keinginannya untuk nyemplung ke dunia fashion makin besar. Tidak lama, dia nekat kembali ke tanah air dan mengambil kuliah fashion design di LaSalle Collage.
Di lembaga pendidikan internasional itulah karir fashion Jeanette bemula. Dua tahun menimba ilmu fashion, Jeanette kemudia lulus dan mengawali karir sebagai jurnalis di majalah fashion InStyle. Menjadi jurnalis selama 3,5 tahun, Jeanette sampai pada titik jenuh. Dia ingin mencoba hal baru. Namun, masih di bidang fashion yang menjadi passion-nya sejak dulu.
”Lagi pula, background pendidikanku bukan jurnalistik. Tulisanku juga tidak terlalu wah. Aku ingin mencoba sesuatu yang beda. Kemudian ada tawaran menjadi fashion advisor. Tidak ada salahnya untuk coba dijalani,” jelas dia.
Sebagai fashion advisor, Jeanette harus membantu para pelanggan VIP Galeries Lafayette yang membutuhkan masukan mengenai fashion. Seorang fashion advisor akan mendengarkan permintaan kliennya untuk kemudian diterjemahkan dalam barang-barang fashion yang dibutuhkan. Kendati terdengar sederhana, fashion advisor ternyata bukan pekerjaan yang mudah dan bisa dilakukan siapa saja.
Kemampuan analisis, membaca dan mendalami karakter, mengerti seluk beluk tubuh manusia, kreativitas, dan kesabaran harus dimiliki seorang fashion advisor. Setiap klien, datang dengan masalah dan kebutuhannya masing-masing. Mulai dari yang hanya bingung memilih barang untuk menambah koleksi, menghadiri undangan tertentu, menemukan pakaian yang bisa menutupi kekurangan, meng-upgrade penampilan, hingga membelikan kado.
Klien yang datang akan diminta Jeanette untuk menceritakan tujuannya datang untuk belanja. Sebelumnya, Jeanette juga harus sudah memegang database shopping list klien tersebut selama berbelanja di Galeries Lafayette. Shopping list juga bisa menjadi clue preferensi klien tersebut. Sambil terus menggali informasi, dia juga terus menganalisis karakter si klien. Hal itu dilakukan agar bisa memberikan pilihan yang tepat untuk klien.
Setelah semua data terkumpul, Jeanette akan memberikan pilihan kepada klien untuk ikut berkeliling bersamanya atau menunggu sementara Jeanette memilihkan barang-barang yang mungkin akan disukai oleh kliennya itu. Tidak jarang, barang-barang yang disodorkan Jeanette untuk dijadikan pilihan ditolak begitu saja. Padahal kriterianya sudah sesuai dengan apa yang diinginkan klien.
Menurutnya, tidak sedikit klien yang tidak konsisten. Itu menjadi tantangan lainnya. Pernah satu ketika ada klien yang saat ngobrol mengaku suka dengan barang-barang girlie. Namun, ketika disodorkan, malah tidak mau,” kata perempuan berambut panjang itu.
Penolakan itu tidak membuat Jeanette patah arang. Dia justru makin tertantang untuk bisa menemukan barang yang menjadi impian kliennya. Dia akan merasa puas jika kliennya berhasil menemukan barang yang selama ini diidam-idamkan. Bayangkan saja, klien datang tanpa tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan. Jeanette kemudian mencoba menerjemahkannya. Dan akan jadi sangat menyenangkan jika Jeanette berhasil membantu klien tersebut.
Tantangan lain yang diakui Jeanette paling sering dia temukan adalah sulitnya meyakinkan klien. Menurutnya, banyak sekali klien yang tidak percaya diri. Padahal, tampilan fisik mereka mendukung mereka untuk mengenakan barang yang dipilihkan Jeanette. Dia mencontohkan seorang ibu yang memiliki kulit putih merona namun tidak pernah percaya diri mengenakan pakaian berwarna cerah. Klien tersebut hanya menggunakan pakaian berwarna monokrom.
”Kalau tidak hitam, putih, yah abu-abu. Aku sodorkan dia baju pink fuschia. Awalnya dia tidak mau. Namun, setelah mencoba dan melihat sendiri, dia baru sadar penampilannya terlihat lebih baik dan pas dengan baju warna cerah itu,” ujar dia.
Namun, dari tantangan yang ada, Jeanette mengaku membantu ornag memilihkan lingerie sebagai tantangan terberat yang pernah dia hadapi. Bentuk tubuh terutama payudara setiap perempuan yang tidak sama dan perasaan risih klien membuatnya tidak bisa terlalu jauh masuk dalam ranah tersebut. Menurut dia, banyak orang masih merasa risih saat ditanya lebih dalam mengenai kebutuhan lingerie mereka. Itu yang membuat Jeanette agak kesulitan.
Hal itu menjadi penyemangat Jeanette untuk terus menggali ilmu. Browsing mengenai berbagai hal terkait pekerjaannya selalu dia lakukan ketika sedang tidak ada klien. Mulai dari tren terkini, apa saja yang sedang populer, jenis-jenis bentuk badan, warna kulit, dan yang lainnya. Hal tersebut dilakukannya agar bisa selalu membantu kliennya menemukan apa yang mereka cari.
Klien Jeanette kebanyakan berasal dari kalangan profesional dan didominasi oleh perempuan. Kebanyakan mereka datang mencari pakaian untuk bekerja atau menghadiri event tertentu. Meski tidak banyak, kaum ada juga kerap menggunakan jasa Jeanette. Mereka kadang dibuat bingung oleh banyaknya barang yang ada. Saking banyaknya, mereka sampai tidak tahu harus memulai dari mana.
”Tapi, biasanya laki-laki lebih simple dan mudah menerima masukan. Kalau perempuan punya kecenderungan untuk menolak terlebih dahulu. Mereka harus diperlihatkan dulu seperti apa baru bisa menerima,” tutur dia. Kemampuan Jeanette untuk membantu para kliennya membuat mereka datang kembali untuk menggunakan jasanya. (*)